Friday 30 October 2015

Pohon Itu



Tak kusangka, pohon itu masih berdiri di sini. “Herman!” Seseorang memanggil namaku. Sengaja panggilan itu tak aku hiraukan. “Herman! Stop!” Lagi-lagi seseorang memanggil dan menahanku berhenti mendekati pohon itu. Sejenak aku berhenti dari langkahku,  berusaha mendengar panggilannya, tapi aku enggan untuk menengok ke belakang. Langkahku urung berhenti, kembali aku langkahkan kaki. Sesaat kemudian, seseorang menepuk punggungku. “Herman! Aku bilang berhenti dan jangan melangkah kesana.” 

“Kenapa?” Tanyaku.

“Kamu ingat Hartono?” Kugelengkan kepalaku, karena aku tak ingin mengingat nama itu.“Hartono adalah penebang pohon di depan Sekolah kita”

“Lantas, apa hubungannya dengan pohon itu. Pohon itu sudah hampir dua puluh tahun sejak aku masih memakai celana abu-abu. Waktu itu,  pohon itu sebesar aku tingginya. Tapi sekarang, pohon itu masih berdiri disini. Pohon itu sudah besar. Akarnya kuat, daunnya lebat .”

“Iya. Pohon itu sudah besar. Kalah besar dengan tubuhmu. Jika pohon itu menimpamu, tubuhmu akan remuk dibuatnya.”

Seketika tubuhku menggigil, jantungku terasa cepat berdenyut. Buru-buru kakiku melangkah ke depan menuju pohon itu. Aku tak ingin mendengar perkataannya, apalagi menengok kebelakang. Siapapun dia.Sesampainya di depan pohon itu, tanganku berusaha aku angkat untuk memegang pohon itu. Tapi, pohon itu semakin menjauhiku. Langkah kakiku sedikit aku percepat untuk menggapai pohon itu. Lagi-lagi pohon itu tak bisa aku gapai. Nafasku semakin sulit aku kendalikan. Dadaku semakin sakit. Dadaku seperti tertusuk. Kemudian suasana gelap. Aku tak bisa melihat pohon itu disana. Pohon yang besar dengan akar gantungnya.  Cahaya putih samar-samar mendekatiku. Seketika aku menengok kebelakang mencari cahaya itu. Tapi cahaya itu tak aku temukan lagi, apalagi laki-laki yang tadi berbicara denganku. 

“Kemana dia?” gumamku. 

“Herman! Herman!” Lagi-lagi seseorang memanggilku.

Aku menengok ke kanan, ke kiri kemudian ke belakang. Tak ada seseorang disana.

“Herman!Herman. Buka matamu. “ 

Berusaha ku buka mataku perlahan. Kudapati istri dan kedua anakku.
 
“Aku dimana, ma?” Tanyaku kepada istriku yang sedang menagisiku.

“Alhamdulillah. Kamu udah siuman, mas.Tetangga mandapatimu pingsan di depan sekolahanmu dulu.  Kata tetangga, kamu adalah satu-satunya keturunan Pak Hartono yang masih hidup, setelah keenam saudaramu  yang telah tiada dengan berbagai macam sebab. Mudah-mudahan mitos ayahmu yang menebang pohon beringin depan sekolahan itu tidak benar ya, mas. “ Ujar istriku sambil sesenggukan menangisiku.

Friday 9 October 2015

Janji Ayah








“Besok kita akan melihat Matahari “

“Kapan?”

“Besok siang.Tapi, entahlah. Ayah ragu dapat libur apa tidak dengan kondisi ini. Kabut asap  yang menyelimuti kota ini sudah hampir dua bulan. “ Ujar Ayah ke Rangga sambil menyodorkan sebuah kacamata.

“Kacamata? Harusnya masker  dong ayah , hehe “  Ujar Rangga sambil tertawa.

“Oke. Siap Komandan kecil!Tosss dulu. Ayah berangkat!”

Sehari kemudian

Kring…kring .Suara sms masuk ke handphone Ibu.

“Assalamu’alaikum, bunda. Jangan lupa bilang sama Rangga. Siang ini Ayah jadi ngajak dia jalan-jalan sekedar melihat  kabut asap disekitar rumah. Ayah dapat ijin dari komandan. Tolong siapkan masker yang kemarin dia siapkan untuk dibagikan tetangga sekitar rumah.” 

“Wa’alaikumsalam. Baik, Ayah. Nanti bunda sampaikan ke Rangga. Hati- hati dijalan!” Jawab Ibu membalas sms  dari Ayah.

Kemudian Rangga berkemas dan bergegas mempersiapkan semua yang telah ia rencanakan bersama ayahnya.Tiga jam kemudian  ayah yang di tunggu Rangga  tak kunjung datang. Handphone ayah mati dua jam setelah sms. Ayah susah dihubungi. 

 “Seharusnya Ayah bisa pulang dalam tempo satu jam sampai rumah,”gumam Rangga dalam hatinya.

 “Ayah sudah pulang? “Tanya Ibu. 

Rangga hanya menjawab dengan gelengan kepala. Pandangan  matanya tak lepas dari halaman rumahnya. 

Tepat pukul setengah enam sore terdengar suara gaduh sirine ambulan. Suaranya semakin mendekat ke rumah . Dada Rangga  terdengar bergemuruh. Bayangan Ayah muncul dalam benaknya.
Ibu bergegas keluar. Diluar banyak teman ayah disana. Pakaian seragam coklat membawa sebuah peti mati. Peti itu kemudian ditaruh didepan rumah Rangga. Kemudian terdengar suara ketukan pintu. Ketukannya membuat wajah Ibu dan Rangga terlihat pucat pasi.

“Ayah!!Ayah, kenapa?”Teriak Rangga.

Rangga berlari menghampiri sekumpulan  orang berseragam coklat.

“Ayah kenapa, Om?” Tanya Rangga.

Ayah tewas dalam kecelakaan menuju pulang.  Kabut asap yang menelimuti Kota Riau Siang itu menghalangi jarak pandang jalan yang mengakibatkan pengendara Truk  tak melihat pengendara motor didepannya.Tubuhnya ditemukan siang tadi. Kabut asap sempat menyulitkan mengevakuasi tubuh ayah Rangga yang terlindas badan truk pasir.





#Disclaimir: Cerita diatas  fiktif belaka.Cerita diatas tidak bermaksut menyinggung perasaan orang lain. Cerita diatas hanya karangan penulis saja. Jika ada nama dan lokasi mungkin kebetulan saja. Terima kasih. 



Saturday 12 April 2014

Ketika Ibu Jatuh Cinta



Seminggu sudah ibu mengurung diri di dalam kamar. 


“Bu…” Panggilku dari balik pintu.



Tak ada sautan dari dalam. Saat ini, aku tak ingin memaksa Ibu membuka pintu kamar. kemungkinan Ibu sedang sedih atas kepergian Ayah selamanya karena penyakit jantung. Namun, sudah semingguan Ibu tak keluar rumah. Aku perhatikan, Ibu hanya keluar kamar sekedar mengambil air minum di dapur, kemudian masuk kembali ke dalam kamar. Tidak seperti sewaktu Ayah masih hidup, Selesai menyiapkan makanan untuk Ayah, Ibu selalu duduk diteras belakang rumah kemudian berpindah  duduk di salah satu sudut dapur sekedar melamun. Ibu selalu menuruti perkataan Ayah, walau Ayah seorang yang ringan tangan. Ibu di larang  beraktifitas seperti sebelum menikah. Ibu berusaha menjadi istri yang baik. Ibu tanggalkan "nama besarnya". 


“Bu…” Kembali aku panggil Ibu sambil berusaha membuka pintu kamar.

"Ahhh.......Ternyata pintu tak terkunci." Gumamku.

“Ibu!” teriakku dan mendapatkan Ibu sedang tertidur di  meja kamar.


Ibu tampak pulas. Aku angkat tubuh  Ibu lalu aku baringkan di atas tempat tidur. Tangannya masih menggegam sebuah pulpen. Aku ambil perlahan pulpennya seketika Ibu terbangun.


"Jangan!"Teriak Ibu. Kembali  Ibu raih pulpen yang sempat aku ingin lepaskan.


"Bu...Ini aku, "jelasku sambil menatap wajah Ibu yang  terlihat  kusam dan terlihat garis hitam di bawah kelopak matanya. Tatapan mata Ibu terihat kosong. Kembali aku baringkan tubuhnya, lama-lama  mata Ibu terpejam kembali.

Perlahan  kaki ini aku langkahkan meninggalkan Ibu. Ketika hendak ke luar kamar, perhatianku mengarah ke tumpukan kertas di atas meja.

Aku ambil selembar kertas , terlihat    penggalan kalimat yang ditulis Ibu di bagian bawah kertas.

"Cintaku Kembali setelah 35 tahun menghilang" - Mira. M - novelis tahun 80-an





SumberImage








 



Monday 24 March 2014

Let's Move On!



Ikut Tantangan Prompt 43 Mff : Lets Move On!


"Mas! Hampir delapan tahun aku menyembunyikan ini semua."

"Lantas!!"

Dahi Nani mulai mengernyit. Perlahan air matanya mulai menggantung di ujung matanya. 

"Aku... Aku....." Nani menggeleng sambil menghentikan bicaranya. Berusaha mengatur nafasnya yang mulai tersengal.

Sudirjo meringis sinis. Di hisap rokoknya  dalam-dalam, kemudian di kepulkan ke arah wajah Nani yang mulai terlihat gundah.

"Lantas kamu mau minta cerai...menggugat aku..... Hahahaha....aku gak percaya kalau kamu berani melakukannya." 

"Aku yakin!!"Angguk Nani.

"Braaakkk.!!" Sudirjo menggebrak meja di depannya.

"Woo...Nduk. Gak aku sangka. ternyata kamu gak setia."

 Sudirjo seketika mendekat ke arah Nani  sambil mencengkram tangannya.

Nani menggeleng, seketika air matanya yang sejak tadi menggantung akhirnya mengucur ke bawah.

Gubrraakkk !!

Meja di depan merekapun terbalik akibat tendangan kaki Sudirjo.

Nani berusaha melepaskan gemgaman tangan Sudirjo lalu  berlari  masuk kedalam kamarnya. Dikemasi bajunya kemudian  dibangunkan ketiga anaknya.

"Ayo Nduk, Le. Ikut mamak!! "

"Kemana mak..?" Tanya Yuda salah satu anak lelakinya.

"Ke Jakarta."

"Selangkah kamu  keluar pintu, maka kamu sudah tak aku anggap lagi  istriku." Gertak Sudirjo lantang. 

Nani seakan tak memperdulikan suara Sudirjo dan semakin mempertegas keputusannya untuk pergi dengan deraian air matanya sambil membawa ketiga putranya.


***
Dua tahun kemudian.


Na... Aku tunggu di Rumah Sakit Dr SARDJITO, Yogyakarta. Dari sahabatmu Rahayu.

Sms yang tiba-tiba masuk di handphone Nani, membuat jantungnya berdegup kencang. Tanpa berpikir panjang dia berpamitan untuk pergi ke Yogyakarta.

Langkah kaki  Nani gontai sesampainya di rumah sakit. Matanya melirik tas yang berisi map berwarna merah. Diambil kemudian dia kuatkan kakinya melangkah ke arah salah satu kamar persalinan.

"Baiklah ini surat perceraiannya  sudah aku tanda tangani. Ayu, semoga kamu bahagia. Dan kamu mas, selamat yah atas kelahiran putra kempatmu." Nani berujar sambil mengulurkan tangannya.

Tangan mereka saling berjabatan,  kemudian Nani meninggalkan mereka berdua. Baginya, memberikan kebahagiaan kepada sahabatnya dan suaminya jauh lebih baik daripada  berstatus sebagai istri Sudirjo tapi tak pernah mendapatkan nafkah lahir  selama delapan tahun terakhir pernikahannya.



Saturday 25 January 2014

"25 Januari"

Credit


Prita  dengan segala gundahnya.  Sepekan lamanya waktunya dihabiskan di dalam kamar.  Entah berapa kali Prita  mondar mandir di dalam kamar.  Berdiri lalu berjalan, sesekali menoleh ke arah cermin. Kepalanya menggeleng kemudian berlari ke tempat tidurnya. Dia hempaskan tubuhnya , di pukul-pukul perutnya. Kembali berdiri lalu bercermin dan  begitu seterusnya dia lakukan  berulang kali. 

“Prit!” seseorang memanggil namanya sambil menggedor pintu kamarnya. 

Prita menggeleng.

“Tidak! Siapapun kamu, aku tak akan keluar kamar, ” teriaknya di dalam kamar.

“Ok. Aku taruh disini. Pasti kamu akan suka. Jangan lupa di coba dahulu, ya, ” ujar Alvin di luar kamar.

Perlahan Prita berdiri dan melangkahkan kakinya ke luar  kamar. Pintu di buka perlahan. 

Pandangannya mengarah sebuah kotak  yang di bungkus kertas berwarna coklat.

Prita berjongkok, di pungut kotak itu kemudian dia bawa ke dalam kamarnya.

Seketika dia buka secara perlahan.      
                            
“Hah! Ini yang aku cari.” Gumamnya .

Seketika wajahnya sumringah.  Prita berlari ke arah kaca rias sambil  berkacak pingggang memandang perutnya dengan takjub. 

Besok, 25 Januari  adalah hari  terakhirnya mengakiri masa lajangnya.  Sebuah korset  berwarna krem membuatnya  terharu setelah semingguan dia  cari untuk mengempeskan lemak di dalam perutnya supaya kebaya yang ia pakai nanti terlihat sempurna di pakainya.